Rasinah lahir di Desa Pekandangan, Indramayu, Jawa Barat. Kedua orangtuanya juga seniman. Karena itu, darah seni pun menucur deras di dalam nadinya. Sejak kecil ia telah diajari menari lengkap dengan aturan-aturan “mistis”nya. Bahkan, ia pun telah “diamenkan” di panggung-panggung hajatan (bebarang), untuk menegaskan suratan hidupnya yang seniman.
Masa kanak-kanak dan remaja Rasinah hanyalah tarian. Gejolak hidup Rasinah muda hanyalah panggung-panggung hajatan, lengkap dengan suara tetabuhannya. Sehingga, di luar Tari Topeng Indramayu, sungguh ia bukanlah apa-apa. Ia adalah cerminan “anak wayang” yang sepanjang hidupnya lebih diberikan untuk panggung dan penonton. Ia sama sekali tidak mengenal hal lain di luar dunia tersebut. Sekolah atau menikmati keceriaan seperti kaum remaja sebayanya.
Keteguhan Rasinah untuk terus konsisten di jalurnya bukan tidak dihadang masalah. Pergeseran selera masyarakat dari kesenian tradisional ke kesenian yang lebih modern membuat Rasinah – dan seniman tradisional pada umumnya – terkena imbas besar. Mereka kehilangan panggung-panggung hajatan, lahan untuk mengekspresikan kesenimanannya, dan tentu saja, nafkah!
Masa-masa sulit seperti itu dirasakan benar oleh Rasinah. Terlebih setelah ayah dan ibunya meninggal. Ia memang anak tunggal. Sehingga, ia harus menggantungkan hidupnya pada sang suami. Ia nyaris tidak memiliki kesempatan untuk menari. Lantaran tidak ada lagi yang mengundangnya.
Dalam kesendirian dan keterasingan, ia hanya memasrahkan hidupnya pada Yang Mahaperkasa. Ia tidak berani lagi menghitung-hitung suratan nasib di depannya. Karena, ia sadar bahwa ia hanyalah seniman tradisional, plus dengan kemampuan yang terbatas. Untuk beralih pada sumber penghidupan yang lain, ia juga merasa tidak bisa. Maka, ia pun hanya bisa menari di rumahnya sendiri. Kerap, ia menari ditemani cucunya, Aerli. Dan, dengan sisa gendang, saron, dan gong, dari ayahnya, ia juga coba ajarkan pada cucunya yang Edi. Saat itu, ia mencoba menitiskan kemampuan berkeniannya kepada kedua cucunya.
Cara itu ditempuh oleh Rasinah, agar ia tetap memiliki semangat untuk menari. Di benaknya hanya terlintas satu niat, agar hidup yang pahit itu bisa dijalani dengan keceriaan sambil membagi-baginya kepada orang terdekat. Tari Topeng Indramayu adalah satu-satunya harta karun yang dimilikinya. Sehingga, hanya dengan “benda” itulah ia bisa mewariskannya kepada keturunannya.
Bangunan semangat untuk bertahan dan berbagi, serta kepasrahan untuk menyerahkan segala-galanya kepada Dzat Yang Mahasempurna, akhirnya berbuah kebahagiaan. Ketabahan dan kegigihan untuk terus berkesenian secara bersahaja membuahkan perhatian pihak lain. Ia percaya bahwa orang yang tiba-tiba memedulikan dirinya dan Tari Topeng Indramayunya adalah tangan-tangan Tuhan. Ya, cerminan sifat rahman dan rahimNya.
Minat kalangan pemerhati kesenian tersebut yang bertekad merevitalisasi kesenian Tari Topeng Indramayu menebarkan manisnya juga untuk Rasinah. Ia pun diminta untuk menari di berbagai tempat. Bukan sekedar panggung-panggung hajatan di kampung-kampung. Tapi, termasuk juga pentas-pentas di gedung-gedung kesenian di
Gubuk yang tadinya nyaris runtuh karena tidak pernh mendapat perhatian, perlahan-lahan ia bangun kembali. Bahkan, ia pun berhasil membangun sanggar sederhana di salah satu sudut rumahnya. Teman berlatihnya pun bukan hanya Aerli, cucunya. Tapi, anak-anak lain berdatangan untuk meminta juga “harta karun” yang dimiliknya. Seiring dengan itu, panggilan-panggilan untuk menari pun tidak pernah lagi berhenti.
Maka, Rasinah yang oleh murid-muridnya dipanggil Mimi (nenek) telah mendapati kegemilangan nan tiara di hari tuanya. Ia bisa tersenyum bahagia saat meyakini bahwa keteguhannya mendalami Tari Topeng Indramayu membuahkan panen besar. Ia bisa tertawa gembira saat mensyukuri bahwa kesungguhan mengawal kesenian tradisional itu memberikan manfaat tak terhingga. Sehingga, ia pun bisa melupakan kepahitan dan rintangan yang selama menempa perjalanan berkesenianannya dan kehidupan nyatanya.
Kita bisa mengatakan apa yang terjadi pada Mimi Rasinah karena keterpaksaan. Ia terpaksa bertahan dengan kemiskinan dan kepapaannya sebagai seniman tradional, karena ia tidak memiliki kemampuan lain. Ia terus menekenuni Tari Topeng Indramayu karena tidak ada pilihan lain. Pendapat itu tidak salah. Sama sekali tidak salah.
Tapi, fakta juga berbicara, dengan kemiskinan dan kepapaan itu justru ia terus menari. Padahal ia tidak lagi mendapat panggilan dan memiliki panggung tetap. Ia menari untuk dirinya sendiri dan di “panggung” yang teramat sempit di dalam gubuknya. Ia juga menari sambil membagi “kesenimannya” pada orang terdekat. Kedua hal itu merupakan pertanda kesungguhan untuk mempertahankan hidup dan terus berbagi.
Rasinah laksana setangkai suket (rumput). Suket tidak menyesali kemiskinan, kepapaan, dan kenyataan diri, yang memang berada di bawah. Ia terus bersemangat, bersungguh-sungguh, dan tabah, untuk memulai mengisi pagi. Bahkan, dengan “panggung” yang teramat sederhana, ia terus “berkesenian”. Dan, dengan suka-cita, rona hijau ditebarkan ke sekelilingnya. Ia bertahan dan memberi. Sebuah ajaran cinta terdalam, yang tidak lagi berpikir tentang keberadaan diri dan imbalan atas penebaran cinta itu sendiri.
Yang dilakukan Rasinah saat persoalan-persoalan hidup memburunya tanpa henti adalah memasrahkannya kepada Yang Mahamemberi. Keluh-kesah, penyesalan, putus asa, apatis menghadapi hidup, justru hanya akan menyurut semangat bertahan dan kesungguhan memberi. Sehingga, tanpa proklamasi dan pengumuman yang berlebih, ia memang menunjukkan kebangkitannya sebagai khalifah. Tanpa berpikir tentang hakekat hijrah nurani yang sering diungkap oleh
Kebangkitan itu sendiri tidak identik dengan pelarian atas kepungan masalah atau kemadekan karier. Tapi, “pribadi nan tercerahkan” adalah pilihan lain dari hidup ini. Siapa pun boleh hidup dengan pilihan apanya masing-masing. Entah terus menjunjungi semangat mimpi, keinginan, cita-cita, dan ambisi, untuk meraih kebahagiaan duniawi. Atau, mencoba meraih target kebahagiaan di alam lain. Terserah saja.
Yang pasti, Rasinah telah memperlihatkan contoh menarik, untuk memilih pilihan yang lain. Sebuah target, yang bisa jadi, tidak lazim dan tidak popular. Tapi, bila hal itu bisa menenangkan batin, sekaligus mampu membangkitkan semangat, kesungguhan, ketekunan, dan kegigihan, untuk mendapati hidup itu sendiri, serta menikmatinya dengan penuh kemenangan.
Di usia senjanya sekarang, Rasinah nyaris tak bisa lagi menggerakkan tangan, menghentakkan kaki, dan memancangkan topeng di wajahnya. Bahkan, serangan stroke memaksanya untuk bolak-balik ke rumahsakit. Tragisnya, karena ketiadaan biaya, keluarganya juga berkeinginan melego topeng-topengnya(?) Satu-satunya, keperkasaan yang masih ditorehkan seorang Rasinah, di tengah ketidakberdayaannya, ia tetap memaksakan diri untuk mengawasi murid-muridnya berlatih menari. Subhanallah.
“Yang membuat kami terharu dan yang paling berkesan, ia pernah mengatakan bahwa ia akan mati di atas panggung,” tutur salah seorang cucunya Edi Suryadi dalam film dokumenter “dua Perempuan”. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar