26 April, 2008

MASNAH, Maestro Gambang Kromong

Masnah atau Pang Tjin Nio adalah Gambang Kromong. Ketika namanya disebut, maka para pemerhati seni akan menghubungkannya dengan kesenian khas produk akulturasi Cina Keturunan dan Pribumi. Masnah juga tergolong maestro. Karena, nenek berusia 80 tahun itu telah memperlihatkan dedikasi yang begitu tinggi terhadap kesenian tradional itu. Ia bukan hanya satu-satunya penyanyi yang hafal lagu-lagu klasik (dalem) Gambang Kromong, tapi ia pun menawarkan inspirasi bagi orang lain untuk mencintai Gambang Kromong.

Sejatinya, Masnah adalah Cina Keturunan. Karena itu, ia juga masih memelihara simbol-simbol kecinaannya. Misal, altar peribadatan di ruang tamunya dan juga praktik-praktik peribadatannya. Tapi, jika ditanya agama yang dianutnya, maka ia hanya tersenyum. Di KTP, agamanya tertulis Islam. Tapi, hatinya mengarah pada Khong Hu Chu. Meskipun demikian, ia justru tidak pernah mengunjungi vihara. Satu-satunya kunjungan ke tempat ibadah kaum Budha itu adalah ketika ia diminta filmmaker, untuk mengunjungi sebuah vihara di Pasar Lama Tangerang.

Masnah menekuni Gambang Kromong, bisa dikatakan, tanpa kesengajaan. Dalam film dokumenter dua PEREMPUAN, ia menuturkan keterlibatannya diawali dengan kematian suami dan anaknya. Dalam kegalauan dan kesendirian, ia pun memasuki kehidupan baru sebagai wayang (cokek). Setelah itu, ia pun mencoba menjadi penyanyi, dengan mempelajari langsung pada tokoh-tokoh Gambang Kromong tempo doeloe.

Seperti juga anak wayang di lingkungan Gambang Kromong, ia juga mengalami proses kawin-cerai-kawin-cerai. Ia memang pernah menjadi primadona di zamannya. Sehingga, ia sering menjadi bidikan tamu-tamunya di pekalangan (arena hajatan).

Masa remaja Masnah hanyalah lagu-lagu dalem dan sayur (popular). Gejolak hidup Masnah muda hanyalah panggung-panggung hajatan, lengkap dengan suara teh yan, gambang, kromong, dan gong. Sehingga, di luar Gambang kromong, ia bukanlah apa-apa. Ia adalah cerminan “anak wayang” yang sepanjang hidupnya lebih diberikan untuk panggung dan penonton. Ia sama sekali tidak mengenal hal lain di luar dunia tersebut.

Keteguhan Masnah untuk terus konsisten di jalurnya bukan tidak dihadang masalah. Situasi politik paska jatuhnya rezim Orde Lama – yang mendiskreditkan Komunitas Cina Keturunan – juga membuat Gambang Kromong benar-benar terpuruk. Di luar dampak politik, sudah pasti, dampak ekon0omi paling dirasaakan oleh mereka. Termasuk, Masnah.

Terlebih lagi, gempuran kesenian yang modern pun tanpa ampun, ikut melibas masa depan kesenian tradisional. Mereka kehilangan panggung-panggung hajatan, lahan untuk mengekspresikan kesenimanannya, dan tentu saja, nafkah! Pada akhirnya, Gambang kromong pun harus tampil di panggung terbatas dan tanpa perlu lagi menghadirkan lagu-lagu klasik. Karena, selera penggemar kesenian ini yang haus hiburan, memang menuntut dialunkannya lagu-lagu sayur.

Perubahan garis kesenian tradisional itu terjadi, ketika Ford Foundation merevitalisasi lagu-lagu klasik dan Gambang Kromong. Imbasnya, bukan hanya Masnah mendapat kesempatan untuk menurunkan ilmunya pada penyanyi-penyanyi muda. Bahkan, suaranya pun telah diabadikan dalam bentuk kaset dan CD. Tapi, undangan untuk menyanyi pun terus mengalir.

Maka, Masnah pun mendapati kegemilangan nan tak terkira di hari tuanya. Ia bisa tersenyum bahagia saat meyakini bahwa keteguhannya mendalami Gambang Kromong membuahkan mutiara. Ia bisa tertawa gembira saat mensyukuri bahwa kesungguhannya mengawal kesenian tradisional itu memberikan manfaat tak terhingga. Sehingga, ia pun bisa melupakan kepahitan dan rintangan yang selama menempa perjalanan berkesenianannya dan kehidupan nyatanya.

Kita bisa mengatakan apa yang terjadi pada Masnah karena keterpaksaan. Ia terpaksa bertahan dengan kemiskinan dan kepapaannya sebagai seniman tradional, karena ia tidak memiliki kemampuan lain. Ia terus menekenuni Gambang Kromong karena tidak ada pilihan lain. Pendapat itu tidak salah. Sama sekali tidak salah.

Tapi, fakta juga berbicara, dengan kemiskinan dan kepapaan itu justru ia terus bernyanyi. Padahal ia tidak lagi mendapat panggilan dan memiliki panggung tetap. Bahkan, ia tidak pernah mencoba untuk bernyanyi sendiri di rumahnya. Karena, ia bisa menyanyi bila ada musik pengiring. Selain itu, ia juga buta huruf dan tidak bisa membaca notasi. Hal itu merupakan pertanda kesungguhan untuk mempertahankan hidup dan terus berbagi.

Masnah laksana setangkai suket (rumput). Suket tidak menyesali kemiskinan, kepapaan, dan kenyataan diri, yang memang berada di bawah. Ia terus bersemangat, bersungguh-sungguh, dan tabah, untuk memulai mengisi pagi. Bahkan, dengan “panggung” yang teramat sederhana, ia terus “berkesenian”. Dan, dengan suka-cita, rona hijau ditebarkan ke sekelilingnya. Ia bertahan dan memberi. Sebuah ajaran cinta terdalam, yang tidak lagi berpikir tentang keberadaan diri dan imbalan atas penebaran cinta itu sendiri.

Yang dilakukan Masnah – seperti juga Rasinah saat persoalan-persoalan hidup memburunya tanpa henti – adalah memasrahkannya kepada Yang Mahamemberi. Keluh-kesah, penyesalan, putus asa, apatis menghadapi hidup, justru hanya akan menyurut semangat bertahan dan kesungguhan memberi.

Yang pasti, Masnah telah memperlihatkan contoh menarik, untuk memilih pilihan yang lain. Sebuah target, yang bisa jadi, tidak lazim dan tidak popular. Tapi, bila hal itu bisa menenangkan batin, sekaligus mampu membangkitkan semangat, kesungguhan, ketekunan, dan kegigihan, untuk mendapati hidup itu sendiri, serta menikmatinya dengan penuh kemenangan.

Di usia senjanya sekarang, Masnah masih bernyanyi dari satu panggung ke panggung lain. Dengan penyakit batuk kronis yang terus memburunya, dengan keterbatasan ingatan yang juga mengepungnya, ia masih berharap mendapatkan upah dan tips dari para tamu yang mendengar suaranya.

“Kalau encim udah nggak ada, ya nggak tahu gimana kelanjutannya. Kan encim mah nggak lagi ngeliat. Sekarang aja udah pusing ngeliatnya,” tuturnya di scene akhir babak tentang Masnah dalam film dokumenter dua Perempuan. []

Tidak ada komentar: