Establish shot dimulai dari aktivitas perahu eretan (perahu untuk menyeberangkan warga di dua tempat yang dipisahkan sungai) di atas Sungai Cisadane. Sungai besar itu memang melintasi Kota Tangerang – tempat bermukim sebagian besar warga Cina Benteng. Termasuk, Masnah.
Siang itu, Masnah keluar dari rumahnya menuju sebuah tempat hajatan. Rencananya, ia memang bakal menyanyi di tempat itu selama dua malam berturut-turut. Warga Cina Benteng memang memiliki kebiasaan menggelar hajat demikian lama. Dan sudah pasti menghadirkan kesenian gambang kromong.
Perjalanan Masnah dari rumah menuju lokasi hajatan menjadi “pengantar”, untuk memperkenalkan karakter pertama film ini. Ia bertutur soal waktu dan alasannya melibatkan diri dalam kesenian itu. Persisnya, dimulai sejak suami dan anaknya meninggal. “Kalo nggak terjun ke seni bisa-bisa senewen!” katanya.
Di tempat pesta, para panjak (pemain gambang kromong) dan para cokek (penari) juga sudah berdatangan. Selain menata kebutuhan pementasan, kita juga akan menyaksikan suasana makan siang anak-anak panggung tersebut, canda-canda khas cokek, dan ritual sederhana di belakang panggung. Meski diakui sebagai budaya Cina Keturunan, prosesi upacara tetap saja bernuansakan Islam yang sinkrestisme. Karena, mereka masih menggunakan suguihan, dupa, dam menyan!
Beberapa saat kemudian, sebuah lagu sayur (popular) “Jali-jali Ujung Jalan” meluncur dari mulut Masnah. Beberapa cokek menemani tamunya ngibing. Sementara sejumlah cokek lain sibuk berdandan. Maklum, malam nanti mereka harus tampil secantik mungkin.
Jauh di Desa Pekadangan, Indramayu, Jawa Barat, Rasinah bersama cucu dan muridnya, Aerli dan Andhika, meninggalkan rumah menuju mobil. Mereka bergerak menuju sebuah lokasi hajatan. Di atas mobil, Rasinah bercerita kepada putrinya, Wacih, soal aksi-aksi panggungnya di luar negeri. Sebagai seniman tradisional, Rasinah beruntung bisa menari di mancanegara. Sehingga, ia dianggap memiliki pengalaman lebih dibandingkan penari-penari topeng lain. Namun, ia tetap rendah hati, untuk tetap menari di panggung-panggung kampung.
Di lokasi hajatan, Mimi Wangi tengah melenggokkan Tari Gandurung. Sesaat kemudian, Rasinah dan rombongan tiba di lokasi. Mereka pun langsung berganti kostum. Dan, kita akan menyaksikan aksi Rasinah dengan tari topeng yang sacral, “Tari Panji”. Biasanya, hanya penari senior atau yang dianggap mumpuni, yang dipilih untuk menghidangkan tarian tersebut. Selain bentuk penghormatan, hal itu pun ditujukan untuk memperlihatkan keagungan filosofi tarian itu sendiri. Mereka percaya, tari topeng diwariskan oleh Sunan Kali Jaga (salah satu Wali Sanga) untuk menyiarkan Islam. Karena itu, nilai dan kesucian pesan-pesannya harus dipelihara.
Scene by scene film akan terus berpindah dari cerita Masnah ke cerita Rasinah. Begitu seterusnya. Sehingga, kita memang diminta menyimak kisah dua perempuan (seniman tradisional dan setingkat maestro) di hari-hari senja. Entah berbagai kegiatan mereka di panggung, suasana khas kesenian itu sendiri di hadapan umum, kegiatan para karakter di rumah, dan tentu saja, penuturan demi penuturan tentang masa lalu, masa sekarang, dan keinginan di depan, kedua karakter. Kekuatan informasi atau penceritaan memang bertumpu pada penuturan kedua karakter. Film dokumenter ini memang tidak menggunakan narasi. Sehingga, kita akan mendapati suara asli para karakter dengan logat, ketidakteraturan berbahasa, keluguan, dan juga kejujuran. Orisinal, jadinya.
Bahkan, bisa dikatakan, suguhan gambar menjadi menu utama, untuk dicermati, dipahami, dan diresapi, jalinan cerita dan pesan-pesan yang dikandungnya. Dampaknya, bisa jadi, akan menghadirkan multi-tafsir. Tapi, itulah film dokumenter!
Melalui karakter Masnah, film ini memberikan gambaran tentang keberadaan komunitas Cina Benteng (komunitas cina keturunan yang bermukim di pinggiran
Bicara tentang Komunitas Cina Benteng, maka kita akan dihadapkan pada persoalan ras yang “tidak jelas” (Cina bukan dan pribumi pun bukan), masyarakat yang terpinggirkan, dan komunitas yang tetap saja sulit memperjuangkan masa depannya. Sedangkan cerita tentang kesenian gambang kromong adalah pembuktian tentang betapa kuatnya penetrasi budaya Cina tempo dulu terhadap budaya lokal. Sehingga, ia akan selalu menjadi ikon keberadaan ras Cina di negeri kita.
Seiring dengan terdengarnya reportoar klasik “Pobin Khong Ji Lok”, sebenarnya kita tengah dihidangkan makna simbolik tentang peran kesenian gambang kromong. Karena, kesenian itu merupakan tampilan “superior” kaum pendatang di masa silam terhadap warga pribumi melalui simbol cokek (penari gambang kromong). Di pekalangan (arena hajatan), sang tamu (warga Cina Benteng) bisa berbuat sekehendak hatinya terhadap cokeknya (yang biasanya warga pribumi), bila ia telah memiliki cukin (kain) sang cokek. Termasuk, pelecehan seksual.
Perjalanan waktu, akhirnya menghadirkan banyak perubahan dalam tampilan dan makna-maknanya. Bila tempo dulu, para cokek menjadi simbol “superioritas” warga Cina (di zaman pemerintahan Hindia Belanda tergolong warga kelas dua) atas warga pribumi, sedangkan sekarang menjadi hubungan dagang. Sang cokek membutuhkan uang, maka ia bersedia menemani tamunya menari dan diperlakukan apa saja. Bila dulu kesenian gambang kromong menghadirkan lagu-lagu klasik (yang memperlihatkan keunikan khas Cina), maka kini lebih banyak menghadirkan lagu-lagu sayur (popular). Tujuannya memang telah bergeser, sekedar memberikan hiburan.
Dalam posisi seperti itu, Masnah menjadi bagian yang cukup penting untuk memberikan gambaran keberadaan Komunitas Cina Benteng di masa sekarang, pergeseran fungsi kesenian gambang kromong dan para cokeknya, dan perjuangan warga kelas pinggiran untuk mempertahankan identitas dan kehidupannya. Masnah atau Pang Tjin Nio menjadi karakter, karena ia perempuan tangguh dan legenda yang terus memperjuangkan pembumian warga keturunan di negeri ini.
Sekitar 300 kilometer dari kediaman Masnah, kita juga bisa menjumpai maestro Tari Topeng Indramayu bernama Rasinah di Desa Pekandangan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Umurnya mendekati 80 tahun. Tapi, ia masih rajin membagikan ilmu menarinya kepada siapa pun. Bahkan, ia masih terus memenuhi panggilan menari di panggung-panggung hajatan. Kerap, ia turun panggung untuk meminta saweran (tips) kepada penonton.
Rasinah menjadi karakter pada bagian lain film dokumenter “dua PEREMPUAN” ini, untuk memberikan gambaran perjuangan perempuan, nasib kelabu para seniman tradisional, dan perjalanan akhir sang maestro. Rasinah adalah perempuan tangguh yang sejak kanak-kanak mengalami tempaan hebat, untuk mencintai tari topeng. Kesungguhan itu diperlihatkan dengan syarat-syarat yang sebenarnya tidak masuk di akal. Misal, ia harus mutih (berpuasa dan tidak memakanan makanan memiliki rasa selama beberapa hari) atau nguler (berpuasa dan hanya memakan daun-daunan), dan sebagainya.
Pada saatnya, ia baru bisa “diamenkan” dari satu panggung ke panggung mengikuti jejak orangtuanya. Setelah menjadi penari, ia juga dhadapkan persoalan berat ketika orangtuanya meninggal. Sementara panggilan menari kian sepi. Akhirnya, ia pun jatuh dalam kemiskinan. Tapi, ia terus menari. Sampai keberuntungan pun berpihak dan membuatnya terkenal. Karena, ia kerap mendapat tugas sebagai duta seni, untuk menri di berbagai Negara.
Kisah Rasinah pada film dokumenter “dua PEREMPUAN” memperlihatkan kedekatannya dengan Tari Topeng Indramayu, kesungguhannya untuk terus menari di panggung-panggung hajatan, keseriusannya untuk membagikan Tari Topenfg Indramayu kepada cucunya, dan penghormatannya pada para leluhur. Bukti kecintaan itu diperlihatkan Rasinah dengan kebiasaan berziarah di makam seniman di Desa Pekandangan, serta memperlihatkan aksi Tari Panji di tengah areal pemakaman.
Rasinah adalah contoh perempuan yang konsisten dengan jalan hidupnya, dan setia membangkitkan perjuangan untuk masa depan keluarganya. Sesungguhnya, ia tengah mengajarkan kita untuk mencintai apapun dengan ketulusan dan tanpa pernah berhenti.
Masnah dan Rasinah memiliki “kelas” di bidangnya masing-masing. Namun, keduanya memiliki kesamaan nasib di hari tuanya; papa, terpinggirkan, dan terus berjuang menikmati kehidupan itu sendiri.
Kabar terakhir, Rasinah kini tengah tergolek di tempat tidurnya akibat serangan stroke. Bahkan, ia harus me”lego” topeng-topeng yang pernah dipakainya (bisa jadi memiliki sejarah panjang) untuk menutupi biaya pengobatan. Dalam keadaan seperti itu, ia tetap berusaha mengajarkan tari topeng kepada murid-muridnya.
Luar biasa!
Pada dasarnya, “dua PEREMPUAN” bukan hanya bertutur soal profil dua perempaun (maestro kesenian tradisional). Tapi, banyak pesan yang bisa digali dari kehidupan senja para lansia yang tetap produktif itu. Dan, kita bisa dengan leluasa memilah dan memilihnya. Entah sekedar ingin tahu atau mencoba dijadikan bekal untuk memotivasi diri.
Karena itu, gambar dengan keotentikan suasana dan elemen etnografinya dibiarkan mengalir. Film ini memang ingin memanjakan mata dan telinga kita dengan keaslian dan kejujuran suasana. Bila penafsiran yang muncul bertolak belakang dengan apa-apa yang dirancang oleh filmmakernya, tentu menjadi sangat lumrah. Karena, para pembuat filmnya sendiri justru membiarkan ruang-ruang penafsiran itu berkembang. Mereka berharap, “dua PEREMPUAN” bukan sekadar kisah sedih di hari tua. Tapi, penontonnya diharapkan bisa mendapati mutiara-mutiara yang bisa digali di dalamnya.
Kalau saya mencatatnya sebagai “the spirit of women”. Entah dengan Anda.[]
oo A MAtaHAti production – MASNAH & RASINAH – Produced & Directed by: BAGOES ILALANG – Executive Produced by: RATNA S. HALIM – Director of Photography: MICHAEL TORRO – Edited by: ARIA HANS KERTAPATI – Production Designed by: TERRIZQO A. SUTANSYAH – Scriptwriter: KOQO FERRIZQO –Producer Assistant: AGUSTO PEREZ – Researcher: SUPARYONO – Music by: GAMBANG KROMONG “SETIA NADA” and SANGGAR TARI TOPENG “MIMI RASINAH oo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar